Jakarta -
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (DPD-LPRI) Kalimantan Selatan yang menggugat Pasal 128 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal itu dinilai telah melanggar hak konstitusional.
"Menyatakan Pasal 128 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan di MK, Kamis (3/7/2025).
Mahkamah menyatakan dalil Pemohon bahwa Pasal 128 huruf k UU 1/2015 telah melanggar hak konstitusional atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas norma Pasal 128 huruf k UU 1/2015 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar hakim Arief.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan ketentuan Pasal 128 huruf k UU 1/2015 dan permohonan pemohon, terlihat bahwa frasa 'kegiatan lain' dalam norma a quo merupakan bentuk frasa terbuka open-ended clause yang tidak mendefinisikan secara tegas apa saja yang termasuk atau dikecualikan sebagai kegiatan yang 'bukan' bagian dari pemantauan pemilihan. Akibatnya, frasa ini memberikan keleluasaan bagi aparat penegak hukum untuk menafsirkan segala bentuk kegiatan lembaga pemantau sebagai kegiatan lain yang dilarang, tanpa ada rambu-rambu hukum yang dapat digunakan sebagai pembatas.
Sebab, rumusan norma yang bersifat terbuka dan menimbulkan multitafsir semacam itu cenderung merupakan pasal 'keranjang sampah', 'mulur mungkret' atau 'pasal karet' (catch-all provision) yang memiliki dimensi hukum yang berbeda.
"Padahal, dalam hukum pidana dan hukum administrasi yang berkonsekuensi terhadap sanksi, rumusan norma larangan dibatasi oleh prinsip-prinsip sebagaimana telah dikemukakan di atas, agar dapat mewujudkan kepastian hukum yang adil," ucap Arief.
Selain itu, lanjut Arief, tidak adanya penjelasan mengenai makna frasa 'kegiatan lain' dalam Pasal 128 huruf k. Dalam pasal itu, hanya dijelaskan dengan keterangan cukup jelas, juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurutnya, penjelasan dalam undang-undang seharusnya memperjelas norma dan tidak menyebabkan ketidakjelasan norma itu sendiri.
Oleh karena itu, Mahkamah menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis, terutama karena sanksi pidana yang dikenakan atas pelanggaran norma tersebut baru dirumuskan dalam perubahan melalui UU 10/2016 dan tidak diatur dalam UU 7/2017, sehingga terdapat ketidakkonsistenan pengaturan.
Dalam konteks pemilihan yang demokratis, Mahkamah juga menekankan bahwa lembaga pemantau seharusnya menjadi motor penggerak demokrasi yang sehat, terutama dalam pemilihan dengan satu pasangan calon. Lembaga pemantau perlu menjalankan tugasnya secara jujur, adil, dan netral, serta tidak terlibat dalam kampanye mendukung atau menolak calon.
Mahkamah menegaskan bahwa independensi pemantau pemilu harus bebas dari tekanan pihak manapun, termasuk dari penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan mencabut akreditasi.
Dissenting Opinion
Putusan ini juga diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Hakim Daniel Yusmic P Foekh mempersoalkan tentang status dan hak pemohon yang diwakili Syarifah Hayana selaku Ketua DPD LPRI Kalimantan Selatan.
Daniel mengatakan status dan hak pemohon sebagai lembaga pemantau pemilihan terakreditasi telah dicabut pada 23 Mei 2025. Oleh karena itu, Daniel menilai pemohon tidak memiliki legalitas atau kualifikasi untuk bertindak sebagai lembaga pemantau pemilihan yang menjalankan tugas melaksanakan pemantauan dan pengawasan pemilihan.
Permohonan Pemohon
Untuk diketahui, pemohon menilai Pasal 128 huruf k UU Pilkada telah membuat Pemohon mengalami kerugian konstitusional yang aktual dan nyata karena status dan hak Pemohon sebagai lembaga pemantau pemilihan pada PSU Pilwalkot Banjarbaru dicabut akreditasinya oleh KPU Provinsi Kalimantan Selatan.
Pemohon juga mendalilkan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya untuk melakukan pemantauan PSU Pilwalkot Banjarbaru pun Pemohon mengalami tekanan, rasa takut, intimidasi, dan ancaman, bahkan hal tersebut datang dari para pejabat di lingkup Provinsi Kalimantan Selatan setelah pemohon mengajukan permohonan PHPKADA ke Mahkamah Konstitusi.
Lihat juga Video MK Pisah Pemilu Nasional-Daerah, Pengamat Soroti Bongkar Pasang Aturan
(zap/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini