Menguji Diplomasi Prabowo lewat Gaza

2 days ago 7

loading...

Eko Ernada. Foto/Istimewa

Eko Ernada
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember

KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi 1.000 warga Palestina dari Gaza, khususnya anak-anak yatim, ke Indonesia menandai langkah awal kebijakan luar negeri yang ambisius sekaligus kontroversial. Dibalut narasi solidaritas kemanusiaan, kebijakan ini justru menimbulkan pertanyaan serius tentang kesiapan pemerintah, arah diplomasi Indonesia, dan konsistensi prinsip-prinsip kebijakan luar negeri. Apakah ini refleksi dari komitmen moral, atau sekadar manuver simbolik yang belum matang secara institusional?

Dari perspektif realisme politik, tak ada kebijakan luar negeri yang sepenuhnya netral. Tindakan Indonesia dalam kasus Gaza, betapapun berniat baik, tetap akan dibaca sebagai pernyataan posisi dalam konflik yang sangat terpolarisasi. Bila tidak dikelola secara hati-hati, Indonesia berisiko bergeser dari posisi sebagai mediator netral menjadi pihak yang dianggap berpihak secara politis—terutama oleh aktor-aktor besar seperti Amerika Serikat dan sekutu regionalnya.

Kritik pun bermunculan dari dalam negeri. Beberapa pengamat menyamakan langkah ini dengan gagasan "Riviera Timur Tengah" yang pernah dilontarkan Donald Trump—gagasan kontroversial tentang pemindahan warga Gaza untuk membuka jalan rekayasa geopolitik baru di kawasan. Jika tidak disertai dengan penegasan bahwa Indonesia menolak segala bentuk normalisasi pemindahan paksa warga sipil, maka kebijakan ini bisa dibaca sebagai dukungan diam-diam terhadap agenda yang bertentangan dengan prinsip perjuangan kemerdekaan Palestina.

Konflik di Gaza sendiri berada dalam situasi stagnan dan memburuk. Seperti disoroti Amos Harel dalam Foreign Affairs (2025), Israel dan Hamas tidak menunjukkan niat menuju perdamaian jangka panjang, dan gencatan senjata hanya menjadi jeda sementara sebelum eskalasi berikutnya. Dalam situasi ini, setiap langkah eksternal sangat mudah dipolitisasi. Itulah mengapa niat kemanusiaan yang tulus sekalipun bisa menjadi bumerang diplomatik jika tidak ditopang kebijakan yang matang.

Dalam waktu bersamaan, Prabowo juga tengah menggalang kerja sama ekonomi dengan negara-negara Teluk. Ketertarikan terhadap investasi dari negara-negara seperti Qatar dan UEA wajar, namun menjadi tidak ideal jika beriringan dengan sikap luar negeri yang terlalu akomodatif terhadap narasi kekuatan-kekuatan tersebut. Diplomasi ekonomi yang tidak berjarak dengan agenda geopolitik mitra justru akan melemahkan posisi tawar Indonesia sebagai kekuatan demokrasi Asia. Lebih krusial lagi, Indonesia tidak memiliki kerangka hukum kuat untuk mendukung kebijakan evakuasi pengungsi. Tanpa meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, pemerintah harus bergantung pada pendekatan diskresi yang rawan konflik antar-lembaga. Belum lagi ketidaksiapan regulasi imigrasi, sistem pendidikan, serta perlindungan hukum bagi anak-anak yang akan ditempatkan di Indonesia dalam status hukum yang belum jelas.

Kondisi sosial ekonomi domestik juga tidak mendukung pelaksanaan kebijakan ini tanpa resistensi. Di tengah tingginya angka pengangguran, inflasi pangan, dan ketimpangan layanan sosial, publik bisa dengan mudah menilai langkah ini sebagai bentuk kealpaan pemerintah terhadap persoalan dalam negeri. Maka, strategi komunikasi publik harus menjadi prioritas, agar niat solidaritas tidak dibaca sebagai pengabaian terhadap rakyat sendiri.

Jika kebijakan ini hendak dijalankan dengan tanggung jawab, maka pemerintah harus segera membentuk gugus tugas lintas kementerian—melibatkan Kemenlu, Kemenkumham, Kemensos, Kemenkes, dan Kemendikbudristek—untuk merumuskan skema yang komprehensif dan terukur. Status hukum, perlindungan anak, layanan trauma healing, pendidikan, hingga pengawasan pascaevakuasi perlu dipastikan secara administratif dan operasional.

Evakuasi bukan sekadar memindahkan anak-anak Palestina dari zona konflik, tetapi memberi mereka pemulihan yang layak. Ini menuntut ketersediaan psikolog terlatih, pendamping berbahasa Arab, hingga program pendidikan inklusif yang peka budaya. Tanpa kesiapan tersebut, evakuasi bisa menjadi relokasi problem, bukan solusi kemanusiaan.

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |