Lokakarya F-PKS MPR Kupas Keberagaman dan Persatuan Suku-suku di Sumut

2 hours ago 3

Jakarta -

Fraksi PKS MPR menggelar lokakarya yang dihadiri guru besar sejarah dan dosen antropologi Unimed di Medan membahas keberagaman suku dan persatuan di Sumatera Utara (Sumut). Dalam lokakarya tersebut dijabarkan sejumlah hal, salah satunya soal penemu Kota Medan, Guru Patimpus Sembiring, adalah seorang muslim, dan putranya seorang hafiz Al-Qur'an.

Lokakarya ini digelar di Hotel Grand Mercure Medan, Sabtu (20/12/2025), dengan tema 'Peran Suku-suku di Sumatera Utara dalam Mewujudkan Persatuan di Bawah NKRI'. Narasumber acara ini adalah guru besar sejarah Unimed, Prof. Dr. Ichwan Azhari, guru besar USU sekaligus sesepuh Karo, Prof. Syaad Afifuddin, dan dosen antropologi Unimed, Dr. Ratih Baiduri.

"Jadi sebelum Guru Patimpus datang, sebenarnya di Medan sudah ada penduduk. Bahkan ada seorang ulama besar Datuk Kuta Bangun, yang nama aslinya adalah Syaikh Syaid Muhammad Ibnu Attahir Al Jufri," kata Ichwan.

"Waktu itu terjadi duel spritual antara Datuk Kuta Bangun dengan Guru Patimpus. Dengan perjanjian sebelumnya, bahwa siapa yang kalah harus masuk ke agama pihak yang menang, ini disepakati," tambahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagaimana diketahui Guru Patimpus Sembiring berasal dari Tanah Karo, memiliki kepercayaan asli yang disebut Pemena, dikenal sebagai agama animisme Perbegu, percaya kepada kekuatan magis roh nenek moyang.

"Dalam pertarungan spiritual tersebut, Datuk Kuta Bangun menyajikan buah kelapa sebagai hidangan untuk pendatang Karo yang kehausan. Satu buah kelapa lalu diminum oleh Guru Patimpus, akan tetapi airnya tidak habis-habis, bahkan setelah diminum oleh beberapa orang, air kelapa dari satu buah itu masih tetap ada. Akhirnya Guru Patimpus mengaku kalah dan masuk Islam," ujar Ichwan.

Ichwan melalui penelitiannya, mengungkapkan kapan sebenarnya Kota Medan ditemukan, hal ini tidak tercatat dalam sejarah. Dan menurut beliau, perayaan HUT Kota Medan tanggal 1Juli hanya perkiraan, diputuskan oleh DPRD Kota Medan, tidak ada landasan sejarahnya.

Ichwan juga mengungkapkan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 79 Hijriah atau tahun 698 Masehi di Barus, Sumut. Bukti-bukti sejarah ini ditemukan di situs Tapanuli Tengah, ada ayat2 Al-Qur'an yang dipahat di koin mata uang dinasti Bani Umayyah.

Islam masuk pertama di Barus dinilai karena wilayah tersebut komoditi perdagangan dari Sumatera yang pada saat itu terkenal adalah emas, kemenyan dan kapur barus. Bukti-bukti itu ditemukan oleh para penggali emas, yang menemukan situs sejarah tertimbun di bawah tanah, karena tertimpa tsunami pada 1833-1886.

Menurut Ichwan, peran Islam menjaga persatuan antarsuku-suku di Sumut sangat signifikan. Muslim yang berasal dari Toba, bisa kompak dengan muslim dari Karo, muslim dari Mandailing bisa bertemu dengan muslim Tionghoa.

Tampak hadir juga anggota DPR PKS, Anshori Siregar dan Ghufran Zainal Abidin, serta 80 orang peserta yang hadir berasal dari perguruan tinggi, mahasiswa jurusan sejarah, dan anggota DPRD. Dalam sambutan pembukaan lokakarya ini, Ketua Fraksi PKS MPR Tifatul Sembiring menyampaikan hipotesanya, tentang faktor-faktor apa yang menyatukan beragam suku-suku di Sumut.

"Kita tidak pernah mendengar teriakan atau pernyataan 'Batak merdeka", ujar Tifatul.

"Karena bagi suku-suku asli di Sumut, sejak pahlawan Sisingamangaraja XII berhasil mengusir penjajah Belanda, maka kita sudah merdeka. Bergabung dengan RI," ucapnya.

Tifatul memaparkan, bahwa tradisi suku-suku dan istilah-istilah bahasa itu dapat mempersatukan dan kebersamaan. Seperti istilah di Toba, marsiada pari artinya gotong royong, rambadia artinya persaudaraan, horas artinys semoga sehat sejahtera, dan persadaan/pardonganan artinya persatuan.

Sementara di Karo ada sapaan sehari-hari mejuah juah artinya sehat, sejahtera, mujur, selamat, harmoni. Jambur Karo yakni suatu bangunan ruang di tengah kampung yang multifungsi, baik untuk bermusyawarah maupun acara-acara adat.

Tifatul juga mengungkapkan data BPS 2010:
Batak 44,75%
Jawa 33,41%
Nias 7,05%
Melayu 5,97%
Tionghoa 2,6%
Minang 2,58%

"Orang Karo tidak mau disebut Batak.Jadi angka 44,75% itu beragam, ada Suku Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak/Dairi, dan Angkola dan Melayu Pesisir, serta suku lainnya yaitu Nias. Jadi konotasi Batak itu lebih kepada Toba," papar Tifatul.

Tifatul juga mengingatkan bahwa masih ada suara-suara beberapa suku yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Hal ini, menurut mantan Menkominfo ini, harus diwaspadai karena mengarah kepada perpecahan bangsa.

"Kalau tak mampu mempersatukan, janganlah memecah belah," pungkas Tifatul.

Sumut dinilai bisa dijadikan cerminan miniatur persatuan Indonesia, di mana berbagai suku dan agama bersatu dan damai dalam perbedaan. Dari lokakarya ini diharapkan diambil pelajaran, bagaimana merekat kohesi sesama anak bangsa.

Sementara ahli antropologi Ratih Baiduri, bicara mengenai hubungan sosial antaretnis yang ada di Sumut. "Sumut ini adalah surga penelian tentang ragam etnis. Nama Matsum, satu daerah di Medan itu berasal dari maksum, kota suci. Karena dihuni oleh orang-orang Melayu. Kebiasaan sultan melayu, jika ada yang masuk Islam, dianggap suci dan diberi tanah," ujar Ratih.

Ratih mengungkapkan bahwa, banyaknya etnis Jawa berdiam di Sumut, lantaran dibawa Belanda sebagai pekerja buruh di perkebunan."Orang-orang Jawa yang ada di Sumut ini, enggan untuk kembali ke Jawa. Karena sudah terlalu lama berada di Sumut. Bahkan tradisi-tradisi dan bahasa Jawa pun sudah berubah. Mereka dikenal sebagai pujakesuma, putra Jawa kelahiran sumatera," urai Ratih.

Ratih juga menjelaskan tentang prinsip suku Batak Toba, dalihan na tolu, seperti di Minangkabau tigo tungku sajarangan, lambang kekompakan dan kekerabatan. Yaitu kebiasaan gotong royong, terutama saat panen padi, penyelenggaraan perkawinan, membangun rumah, hingga mengurus pengairan sawah.

"Sebenarnya potensi konflik itu ada, tapi tidak berkembang lantaran suku2 di Sumut ini memelihara prinsip dasar saling menghormati perbedaan", simpul Ratih.

Sedangkan Syaad Afifuddin lebih banyak mengungkapkan pengalaman-pengalaman empirik sebagai sesepuh Karo. Syaad berkesimpulan bahwa penguatan peran tokoh suku bersinergi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya menjadi upaya penting untuk mewujudkan persatuan dalam bingkai NKRI.

(rfs/imk)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |