Jakarta -
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan banyak anak-anak ikut aksi demo di depan gedung DPR beberapa waktu lalu karena adanya ajakan. Ajakan itu muncul, baik dari orang terdekat maupun media sosial.
Mulanya, Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah menjelaskan setiap anak berhak menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai. Hak itu dijamin dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No 36/1990.
"Selain Konvensi Hak Anak tersebut, terdapat Hukum Nasional yang juga menegaskan perlindungan yang sama, yaitu Undang-Undang 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga memuat aturan yang sama. Dalam UU tersebut juga ditegaskan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, berhak mendapatkan perlindungan dari pelibatan dalam kerusuhan sosial, serta pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan," kata Margaret kepada wartawan, Rabu (3/9/2029).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain hak untuk berpendapat, anak-anak disebut mempunyai hak untuk tidak dieksploitasi. Salah satunya dalam kegiatan politik.
"Selain itu, anak-anak juga mempunyai hak untuk tidak dieksploitasi dalam kegiatan politik. Dalam UU 11/2012 juga diatur adanya kewajiban pendampingan hukum dan pendekatan restoratif pada setiap tahap proses," ujarnya.
Margaret mengungkapkan anak-anak yang ikut aksi demo di depan gedung DPR mengaku mendapat ajakan. Mereka diajak orang terdekat, dari teman, kakak kelas, hingga alumni tempat mereka sekolah.
"Anak-anak merupakan kelompok rentan, memiliki filter yang lemah untuk bisa membedakan hal-hal positif dan negatif sehingga menjadi kelompok yang sangat mudah diajak/diprovokasi, termasuk dalam aksi demo dan dieksploitasi untuk kepentingan politik. Hal itu terbukti dengan pengakuan anak-anak yang mengaku ikut aksi demo karena ajakan teman/kakak kelas/alumni/media sosial atas isu tentang menolak kenaikan gaji/tunjangan DPR serta menolak adanya statement terkait 'guru adalah beban negara' (hasil pengawasan KPAI di PMJ)," ungkapnya.
Dia mengaku prihatin lantaran anak-anak dilibatkan dalam aksi demo yang berujung kericuhan. Dia mengatakan anak-anak berpeluang menjadi korban dan mendapat kerugian moril maupun non-materiil.
"Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Pelibatan anak-anak dalam aksi demo yang rusuh dan anarkisme ini tentu sangat membahayakan anak. Kondisi yang demikian membuka peluang anak-anak akan menjadi korban dan menderita kerugian baik moril maupun nonmateriil," ucapnya.
Dia juga menyoroti perlakuan aparat penegak hukum terhadap anak-anak yang ikut dalam aksi demonstrasi. Dia menuturkan anak-anak tidak boleh disiksa dan harus diperlakukan secara manusiawi.
"Dalam menangani permasalahan ini, Aparat Penegak Hukum hendaknya memperlakukan anak-anak sesuai dengan yang dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan terkait, terutama yang diatur dalam SPPA yaitu hendaknya tidak melalukan penyiksaan dan memperlakukan mereka dengan manusiawi dan tidak memperlakukan mereka dengan perlakuan yang kejam," kata Margaret.
Margaret mengatakan anak-anak harus dipulangkan kepada orang tuanya maksimal 1x 24 jam. Anak-anak yang diamankan harus terpenuhi hak-haknya.
"Anak-anak seharusnya tidak boleh diborgol tangannya dalam proses penyelidikan, maksimal diperiksa 1x24 jam, dikembalikan ke orang tua. Selain itu, penetapan anak sebagai Anak Pelaku harus didasarkan pada bukti yang kuat dengan indikasi pidana dan tuntutannya setengah dari pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak yang turut melakukan demo tidak serta-merta bisa dipidana karena itu adalah hak mereka dalam menyampaikan pendapat dan dijamin oleh UU. Selain itu, anak-anak yang diamankan oleh Aparat Penegak Hukum juga hendaknya dapat terpenuhi hak-hak dasar mereka," imbuhnya.
Dia mengingatkan peran orang tua untuk mengedukasi anaknya agar kritis, konstruktif, dan tidak mudah terprovokasi. Anak-anak memerlukan adanya penguatan edukasi serta bijak dalam bermedia sosial.
(dek/hri)