Jakarta -
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menegaskan perusuh, pelaku pembakaran, hingga penjarah adalah pelaku pidana. Maka sudah menjadi keharusan aparat untuk memproses hukum mereka.
"Baik perusuh, pembakar, provokator, maupun penjarah adalah pelaku tindak pidana yang harus diproses secara hukum," tegas Bambang kepada wartawan, Rabu (3/9/2025).
Bambang meminta proses hukum tak hanya berhenti di level pelaku pidana, tapi hingga level dalang atau aktor intelektual di belakang kericuhan. "Demikian juga dengan aktor intelektual. Aktor intelektual ini perlu kecermatan untuk menelusurinya, termasuk hubungan pelaku dengan master mind maupun penyandang dananya," sambung dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk diketahui, kericuhan terjadi di berbagai tempat di Tanah Air pekan lalu. Aksi penyampaian pendapat diwarnai perbuatan anarkistis hingga terjadi pembakaran fasilitas umum, penyerangan kantor polisi, hingga penjarahan.
Bambang melanjutkan pengusutan ini penting agar tak ada yang dikambinghitamkan. Dia pun mengatakan kericuhan mengaburkan isu yang menjadi aspirasi masyarakat.
"Hal ini penting agar tak muncul persepsi hanya kambing hitam, sementara aktor intelektual yang sebenarnya melenggang tanpa tersentuh hukum. Sedangkan isu utama aksi penyampaian aspirasi rakyat terkaburkan," jelas Bambang.
Bambang mengibaratkan pengusutan tidak tuntas ibarat sakit yang hanya diberi obat pereda nyeri. "Tidak menyembuhkan karena ungkapan aspirasi tetap menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu kembali terbakar, dan bisa lebih hebat," lanjut Bambang.
Bambang lalu mengomentari soal kasus Direktur Lokataru Delpedro Marhaen Rismansyah (DMR). Menurutnya, polisi harus membuktikan persesuaian antara tudingan Delpedro menghasut dengan dampak hasutan.
"Di era yang sangat terbuka saat ini, tuduhan itu sangat sumir dan subjektif. Siapa yang terhasut, tidak jelas. Dan kalaupun anak-anak melakukan tindakan yang dituduhkan, apakah karena mendapat sumber hasutan dari Delpedro? Meski itu yang terjadi, bisa saja direkayasa," ujar Bambang.
Dia mengingatkan polisi bahwa penggunaan pasal penghasutan dapat dianggap oleh masyarakat sebagai alat pembungkam kritik. "Penggunaan pasal penghasutan dalam UU 1/2024 tentang ITE justru mengonfirmasi bahwa pasal tersebut dijadikan alat pembungkaman suara-suara kritis," pungkas Bambang.
Sebelumnya, polisi mengatakan peran DMR adalah melakukan collab atau kolaborasi di akun medsosnya untuk menyebarkan ajakan terkait demo. Bunyi ajakan agar pelajar tidak takut untuk melakukan aksi.
"Peran Tersangka DMR adalah melakukan collab, kolaborasi dengan akun-akun IG lainnya untuk menyebarkan ajakan agar pelajar jangan takut untuk aksi, kita lawan bareng," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi dalam konferensi pers, Selasa (2/9).
Dalam kesempatan yang sama, penyidik membeberkan akun Instagram yang dikelola Delpedro terhubung dengan akun-akun lainnya dalam menghasut.
"Menjelaskan bahwa peran daripada DMR tadi, bahwa yang bersangkutan merupakan pengelola daripada akun admin dari LF (Lokataru Foundation) di mana bahwa akun tersebut memiliki afiliasi atau kolaborasi dengan akun daripada BPP (Blok Politik Pelajar)," ujar penyidik Polda Metro Jaya.
Menurut penyidik, akun Blok Politik Pelajar itu terhubung dengan akun-akun lainnya. Salah satu akun tersebut berperan sebagai koordinator ataupun mengajarkan pembuatan bom molotov.
"Di mana BPP itu, berdasarkan hasil penyidikan kami bahwa BPP itu yang terhubung dengan akun-akun ekstrem yang memberikan ajakan seperti sebelumnya seperti itu perusakan, kemudian bom molotov, itu ada hub-nya dari akun BPP," ujarnya.
"Dari akun BPP itu, kami melakukan penelitian kembali bahwa kami menemukan nomor yang digunakan adalah ataupun yang diposting merupakan nomor aduan daripada orang yang menjadi staf bagian daripada yayasan yang dipimpin oleh DMR," tambahnya. Kasus ini masih dalam pengembangan pihak kepolisian.
(aud/fjp)