Bicara Peran Budaya, Fadli Zon Sebut Bisa Jadi Sarana untuk Ubah Perbedaan

4 hours ago 3

Jakarta -

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon membahas secara mendalam peran budaya yang berkelanjutan dalam pembangunan global serta mengakomodir rencana aksi yang akan dituangkan dalam Bali Cultural Initiative Declaration 2025.

Hal tersebut ia sampaikan saat memimpin gelaran hari kedua sidang pertemuan tingkat menteri atau Ministerial Summit Culture, Heritage, Art, Narrative, Diplomacy, and Innovation (CHANDI) 2025 di Ballroom Bali Beach Convention Centre, Denpasar, Bali. Dalam kesempatan tersebut, Fadli menegaskan budaya harus ditempatkan di garis depan.

"Budaya menjadi sarana untuk mengubah perbedaan menjadi kohesi sosial, mekanisme adaptif dalam menghadapi ancaman iklim, kompas dalam menggunakan teknologi dengan bijak, sekaligus jembatan untuk memperluas inklusivitas," tegas Fadli, dalam keterangan tertulis, Rabu (3/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun tema yang diusung dalam CHANDI 2025 yaitu 'Culture Beyond 2030: Safeguarding Heritage, Building Peace, and Advancing Cultural and Creative Industries in a Digital Future'. Tema yang menyasar pada budaya yang berkelanjutan ini berangkat dari MONDIACULT 2022, di mana negara-negara anggota menyerukan agar budaya diakui sebagai tujuan mandiri dalam agenda pembangunan pasca-2030.

Menyongsong arah tersebut, CHANDI 2025 mendorong diskusi dan perumusan langkah konkret yang dapat diimplementasikan di tingkat nasional maupun melalui kerja sama antarnegara. Isu-isu yang diperdebatkan dalam forum ini dipandang penting dalam membentuk agenda budaya global setelah 2030.

"CHANDI 2025 menjadi kesempatan yang dapat membuka ruang diskusi untuk membahas isu-isu vital budaya secara kolektif," kata Fadli.

Lebih lanjut, Fadli menyampaikan empat urgensi utama dalam forum ini. Pertama, dampak ancaman iklim dan pelestarian warisan budaya.

Satu dari enam warisan budaya dunia kini berada di bawah ancaman iklim. Topik ini menjadi acuan bagi para delegasi untuk menentukan langkah dalam upaya pelestarian budaya.

Kedua, transformasi digital dan pemanfaatan kecerdasan buatan yang bertanggung jawab dalam kebudayaan.

"Pandemi telah mengungkap betapa rentannya institusi budaya, dengan kunjungan museum menurun hingga 70 persen secara global dan pendapatan merosot hingga 60 persen," jelas Fadli.

Di sisi lain, percepatan teknologi juga menyoroti kesenjangan digital yang masih ada. Tak hanya itu, terdapat pula perhatian serius terkait etika penggunaan kecerdasan buatan dalam bidang kebudayaan, termasuk isu transparansi, perizinan, serta risiko tergerusnya keberagaman budaya.

Ketiga, budaya sebagai mesin penggerak ekonomi melalui Cultural and Creative Industries (CCIs) dan generasi muda. Industri ini diperkirakan bernilai sekitar US$ 4,3 triliun atau sekitar 6% dari perekonomian dunia, mendukung lebih dari 30 juta lapangan kerja, serta menjadi motor bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sekaligus ruang bagi kreativitas generasi muda.

Keempat, perlindungan budaya dalam situasi konflik. Berbagai objek budaya menghadapi risiko perusakan, penjarahan, hingga perdagangan ilegal, sementara lemahnya kerangka hukum dan kerja sama lintas batas membuat perlindungan atas objek budaya masih jauh dari harapan.

"Kita harus kembali menegaskan peran vital budaya dalam membangun masa depan yang berkelanjutan, memperkuat kerja sama dalam pelestarian warisan budaya, meningkatkan diplomasi budaya untuk perdamaian, dan memastikan transformasi digital dibarengi dengan inovasi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan," tegas Fadli.

Sebanyak 39 ketua delegasi negara membahas inisiasi diplomasi budaya yang dapat diterapkan untuk mencegah konflik, terutama menggunakan budaya sebagai instrumen perdamaian. Para delegasi menyampaikan arah kebijakan nasional terkait empat isu urgensi yang diangkat, mencakup praktik baik digitalisasi aset budaya, kerangka metadata, transparansi dalam penggunaan konten berbasis kecerdasan buatan, serta model akses publik yang memastikan nilai budaya tetap berpihak pada pelaku budaya maupun komunitas.

Sektor budaya dan industri kreatif kini bertransformasi menjadi motor penggerak lapangan kerja bagi para generasi muda. Dalam diskusi yang berlangsung, para delegasi tak hanya memperhatikan kesiapan secara infrastruktur, tetapi juga kualitas sumber daya manusia melalui pengembangan kapasitas.

Sesi pertama dimulai dengan mendengar pernyataan dari ketua delegasi Zimbabwe, Brunei Darussalam, Libya, Palestina, Singapura, Syria, Indonesia, Iran, Yordania, Uzbekistan, Venezuela, Kamboja, Fiji, Malaysia, Thailand, Algeria, Armenia, Bangladesh, dan Belarus. 19 kepala delegasi sampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Indonesia yang telah membuka ruang diskusi kebudayaan dan memetakan arah kebudayaan untuk masa depan.

"Komitmen ini tercermin melalui integrasi budaya dalam pembangunan berkelanjutan, pemajuan diplomasi budaya untuk perdamaian, pemanfaatan transformasi digital dan kecerdasan buatan yang bertanggung jawab, pemberdayaan generasi muda serta industri budaya dan kreatif sebagai motor pertumbuhan inklusif, serta penguatan upaya pelestarian warisan budaya, repatriasi, dan pemberantasan perdagangan ilegal warisan budaya," kata Fadli.

Di samping itu, para kepala delegasi juga menempatkan perhatian yang sama terkait ancaman iklim dan konflik terhadap keberlangsungan warisan budaya.

"Budaya merupakan sebuah kohesi sosial, sumber ketangguhan, dan keberlanjutan. Kondisi krisis ataupun konflik harus dipetakan bersama," tuai Menteri Dalam Negeri dan Warisan Budaya Zimbabwe Kazembe Raymond Kazembe.

Sebagai negara yang banyak terdampak konflik, Menbud Palestina Imadeddin AS Hamdan Fawzyah menegaskan dampak perang yang menghancurkan sejarah, memori kolektif, dan melukai identitas nasional sebuah bangsa.

"Di Gaza, ratusan seniman kehilangan nyawa dan bangunan bersejarah mengalami kerusakan, meskipun demikian Palestina terus meluncurkan program pelestarian budaya termasuk pengembangan industri budaya yang menyuarakan kemanusiaan," jelas Fawzyah.

Oleh sebab itu, Menbud sekaligus ketua delegasi Syria Mohammed Yassin Saleh berharap CHANDI 2025 dapat membangun pemahaman bersama mengenai peran budaya sebagai jembatan diplomasi antarbangsa serta peluang kolaborasi.

"Budaya adalah inti dari diplomasi antarbangsa, serta jalan utama untuk membangun dunia yang lebih adil dan manusiawi. Budaya memiliki kekuatan untuk menjadi kompas perdamaian, penggerak pembangunan, dan modal kemanusiaan dalam menghadapi masa depan," kata Saleh.

Pada sesi kedua, Duta Besar Tunisia untuk Indonesia, Mohamed Trabelsi menaruh perhatian atas konflik yang berlangsung di Palestina. Menurutnya, CHANDI 2025 adalah peluang untuk memperkuat hubungan diplomasi yang berlandaskan kerja sama dan pemahaman bersama.

"Budaya di Palestina adalah unsur utama dalam peradaban Palestina, ini harus kita lindungi. Tunisia akan terus suarakan perdamaian dunia," kata Trabelsi.

Agenda dilanjutkan dengan mendengar pernyataan dari ketua delegasi Belgia, Bulgaria, Cyprus, India, Laos, Mongolia, Belanda, Oman, Pakistan, Rusia, Rwanda, Tanzania, Tunisia, Albania, Prancis, Irlandia, Italia, Inggris, UNESCO Indonesia, dan Georgia.

(prf/ega)

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |