Jakarta -
Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) menjadi kegiatan wajib di awal tahun ajaran baru untuk seluruh jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, hingga SMA/SMK. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan lingkungan sekolah kepada peserta didik baru.
Sebelum dikenal sebagai MPLS, kegiatan ini populer dengan istilah Masa Orientasi Siswa (MOS) atau Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPD), yang sempat menuai kontroversi karena praktik perploncoan. Lantas, bagaimana sejarah dan perkembangan kegiatan pengenalan sekolah ini dari masa ke masa?
Berawal dari Tradisi di Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Tradisi perploncoan dalam kegiatan orientasi siswa baru sudah berlangsung sejak masa kolonial. Saat itu, istilah plonco digunakan sebagai bentuk pelatihan kedisiplinan dan pembentukan karakter bagi murid baru. Dalam bahasa Belanda, praktik ini dikenal sebagai ontgroening. Sementara istilah "perploncoan" mulai banyak digunakan pada masa pendudukan Jepang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah Volume 2, Mohammad Roem menceritakan pengalamannya ketika pertama kali masuk Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) pada 1924. Ia menjelaskan bahwa ontgroening bertujuan menjadikan siswa baru lebih dewasa dan cepat berbaur dengan lingkungan sekolah.
Roem menggambarkan bahwa kegiatan ini dijalankan secara intens selama beberapa bulan, namun tetap berada dalam batas yang wajar. Pengawasan ketat dari pihak sekolah membuat pelaksanaan perploncoan tidak sampai mengganggu waktu belajar maupun istirahat.
Sementara itu, dalam buku Tradisi Kehidupan Akademik karya Rahardjo Darmanto Djojodibroto, disebutkan bahwa istilah "plonco" berasal dari kata yang berarti kepala gundul. Saat itu, kepala gundul identik dengan anak-anak atau orang yang belum dewasa. Karena itu, siswa baru dianggap sebagai pribadi yang masih perlu dibimbing agar siap menghadapi dunia pendidikan.
Masih dalam buku yang sama, diceritakan bahwa seorang mantan mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) menyebut istilah "perploncoan" mulai digunakan sebagai padanan dari ontgroening. Meski marak dilakukan selama masa revolusi, praktik ini juga mendapat penolakan dari sejumlah organisasi karena dianggap sebagai peninggalan kolonial dan sistem feodal.
Perkembangan Kegiatan Pengenalan Sekolah dari Masa ke Masa
Seiring waktu, praktik perploncoan mulai dilarang oleh pemerintah dan digantikan dengan berbagai istilah baru. Pada tahun 1963, kegiatan ini disebut Masa Kebaktian Taruna, lalu berubah menjadi Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram) pada 1968. Di tahun 1991 dikenal sebagai Pekan Orientasi Studi, sementara di perguruan tinggi disebut Ospek atau Orientasi Perguruan Tinggi (OPT).
Untuk sekolah menengah, istilah MOS masih digunakan secara luas hingga awal 2010-an. Namun, karena sering disalahgunakan untuk kegiatan yang tidak mendidik, pemerintah mengambil langkah tegas. Pada 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan resmi mengganti MOS menjadi MPLS, lengkap dengan aturan pelaksanaan yang lebih ketat. Kini, MPLS difokuskan sebagai kegiatan edukatif yang mendukung pembentukan karakter, pengenalan lingkungan sekolah, serta penguatan budaya positif di kalangan siswa baru.
MPLS Ramah 2025: Sekolah Aman, Nyaman, dan Menggembirakan
Memasuki tahun ajaran 2025/2026, pelaksanaan MPLS kembali ditekankan agar berjalan lebih ramah dan inklusif. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengajak seluruh pemangku kepentingan; pemerintah daerah, sekolah, guru, orang tua, masyarakat, hingga media, untuk bersama-sama mengawal pelaksanaan MPLS secara kolaboratif dan bertanggung jawab.
Melalui pendekatan ini, MPLS diharapkan benar-benar menjadi ruang perkenalan yang menyenangkan, aman, dan mendukung tumbuh kembang anak di lingkungan sekolah.
Tonton juga Video: Antisipasi Bullying, SMAN 78 Tanamkan Pendidikan Karakter saat MPLS
(wia/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini