5 Alasan Negara-negara Adikuasa Berlomba Bangun PLTN di Bulan, Salah Satu Siap Hadapi Perang Antariksa

2 weeks ago 12

loading...

Negara-negara adikuasa berlomba bangun PLTN di Bulan. Foto/X/@LMSpace

LONDON - Bulan hanyalah inspirasi surgawi bagi para penyair dan filsuf selama ribuan tahun, hingga AS dan Uni Soviet mengubahnya menjadi medan pertempuran untuk menguasai ruang angkasa pada abad ke-20. Memasuki tahun 2025, Bulan telah menjadi medan pertempuran bagi jenis perlombaan baru: perlombaan untuk memanfaatkan sumber energi.

AS, China, dan Rusia berlomba-lomba membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di permukaan bulan, menjanjikan bahan bakar untuk pangkalan masa depan, operasi penambangan, dan bahkan permukiman permanen manusia.

Namun, ketika kekuatan-kekuatan dunia ini bersiap untuk memanfaatkan potensi Bulan, satu pertanyaan muncul: dapatkah pos-pos nuklir ini memicu klaim teritorial, yang mengancam kedamaian ruang angkasa yang tenang?

Ide tenaga nuklir di Bulan terdengar seperti fiksi ilmiah. Namun, kenyataannya lebih dekat daripada yang dipikirkan kebanyakan orang. Kondisi Bulan yang sulit – gravitasi lemah dan "malam" selama dua minggu – berarti sumber energi yang andal diperlukan untuk keberadaan manusia dalam jangka panjang.

5 Alasan Negara-negara Adikuasa Berlomba Bangun PLTN di Bulan,Salah Satu Siap Hadapi Perang Antariksa

1. Panel Surya Tak Banyak Berguna di Bulan

Panel surya tidak banyak berguna selama periode kegelapan yang panjang, dan baterai hanya bertahan untuk waktu yang terbatas.

Hal ini membuat penjelajah ruang angkasa hanya memiliki pilihan tenaga nuklir, baik melalui reaktor fisi yang memecah atom berat menjadi atom yang lebih kecil, atau fusi yang menggabungkan atom kecil menjadi atom yang lebih besar untuk melepaskan energi masif.

BacaJuga: Mesir Berikan Izin Tinggal pada Para Pemimpin Utama Jihad Islam dan PFLP

2. Menjalankan Misi Antarplanet

Mark J Sundahl, direktur Global Space Law Center di Cleveland State University, mengatakan kepada TRT World bahwa reaktor nuklir "dapat digunakan untuk misi antarplanet dan orbital," sebuah kemampuan yang dapat diperluas hingga ke pangkalan bulan.

Namun, lompatan teknologi ini membawa beban hukum dan geopolitik.

Perjanjian Luar Angkasa 1967, landasan hukum antariksa, menegaskan: tidak ada negara yang dapat mengklaim kepemilikan Bulan atau benda langit apa pun.

"Perjanjian itu tidak melarang pembangkit listrik tenaga nuklir. Perjanjian itu hanya melarang senjata nuklir," ujar AJ Link, seorang profesor hukum antariksa di Howard University, kepada TRT World.

Hal ini memberi ruang bagi negara-negara untuk membangun reaktor, tetapi larangan perjanjian tentang "perampasan nasional" dimaksudkan untuk mencegah negara mana pun mengklaim wilayah bulan secara permanen.

Namun, seperti yang dicatat Sundahl, penempatan reaktor nuklir di Bulan tidak akan memengaruhi prinsip dasar perjanjian yang melarang "perampasan nasional" atas benda langit apa pun.

3. Bersiap Hadapi Perang Antariksa

Bagaimanapun, kekuatan-kekuatan duniawi yang merebut sebagian Bulan dan menegaskan hak kedaulatannya berpotensi memicu perang antariksa yang dahsyat.

Bayangkan lanskap Bulan yang dipenuhi pos-pos nuklir, masing-masing dikendalikan oleh negara yang berbeda. Fasilitas-fasilitas ini dapat mendukung operasi penambangan sumber daya langka seperti helium-3, bahan bakar untuk energi fusi bersih.

Permukaan Bulan kaya akan helium-3, unsur langka di Bumi. Bahkan, helium-3 sering disebut oleh komunitas antariksa sebagai alasan utama untuk kembali ke Bulan. Para analis mengatakan bahwa pemerintahan Trump mungkin akan mendorong pembangunan reaktor fusi untuk memanfaatkan sumber daya ini.

Apa yang terjadi ketika pembangkit listrik tenaga nuklir suatu negara berada di atas lapisan regolit kaya helium-3, lapisan material padat tak terkonsolidasi yang menutupi batuan dasar Bulan?

Read Entire Article
Pembukuan | Seminar | Prestasi | |