loading...
Program naturalisasi pemain telah menjadi salah satu strategi utama Timnas Indonesia dalam meningkatkan daya saing di kancah internasional. Sejumlah pemain keturunan telah memperkuat Garuda yang memberi dampak besar pada performa tim. Namun, di sisi lain, Malaysia tampaknya tidak bisa mengikuti langkah yang sama dengan mudah.
CEO Harimau Malaya, Rob Friend, menegaskan bahwa Malaysia tidak bisa dibandingkan langsung dengan Indonesia dalam hal pengembangan sepak bola. Dalam wawancara dengan Astro Arena, Friend menjelaskan bahwa ada setidaknya 3 alasan Malaysia sulit mengikuti program naturalisasi ala Indonesia.
1. Populasi dan Diaspora yang Berbeda
Friend menyoroti bahwa Indonesia memiliki populasi yang jauh lebih besar dibandingkan Malaysia, yang secara otomatis meningkatkan peluang menemukan pemain keturunan yang bisa dinaturalisasi.
"Kita harus realistis, Malaysia bukan Indonesia. Populasi mereka jauh lebih besar, dan diaspora Indonesia tersebar di seluruh dunia," ujar Friend.
Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 270 juta jiwa dan komunitas diaspora yang luas, Indonesia memiliki banyak pemain keturunan yang tersebar di berbagai liga Eropa. Hal ini memudahkan PSSI untuk merekrut talenta berbakat yang bisa memperkuat Timnas. Sementara itu, Malaysia dengan populasi sekitar 33 juta jiwa memiliki keterbatasan dalam menemukan pemain berdarah Malaysia yang berkarier di luar negeri.
2. Kebijakan Naturalisasi yang Berbeda
Selain faktor populasi dan diaspora, kebijakan naturalisasi di Malaysia juga lebih ketat dibandingkan Indonesia. Selama ini, Malaysia lebih banyak menaturalisasi pemain asing yang sudah lama bermain di Liga Malaysia, bukan pemain keturunan yang masih berkarier di Eropa seperti yang dilakukan Indonesia.
Pendekatan ini membuat proses regenerasi tim nasional lebih lambat dibandingkan Indonesia. Sementara Garuda bisa mendatangkan pemain-pemain muda dengan pengalaman di liga top Eropa, Malaysia masih bergantung pada pemain naturalisasi yang mayoritas telah melewati masa keemasan mereka.
3. Fokus pada Pembinaan Jangka Panjang
Friend menekankan bahwa revolusi Timnas Malaysia tidak bisa terjadi dalam waktu singkat dan membutuhkan strategi jangka panjang.
"Roma tidak dibangun dalam sehari. Dalam sepak bola klub, Anda bisa membeli pemain dan membuat perubahan instan, tetapi tidak dalam sepak bola tim nasional," ungkapnya.
Malaysia tampaknya memilih untuk berinvestasi pada pengembangan pemain lokal ketimbang mencari solusi instan lewat naturalisasi. Hal ini terlihat dari berbagai program pembinaan yang mereka jalankan, termasuk fokus pada kompetisi domestik dan penguatan tim muda.
Malaysia menghadapi tantangan besar jika ingin mengikuti strategi naturalisasi ala Timnas Indonesia. Faktor populasi, keterbatasan diaspora, perbedaan kebijakan, serta fokus pada pembinaan jangka panjang membuat Malaysia memilih jalur berbeda dalam pengembangan sepak bola nasional.
(sto)